Kamis, 31 Juli 2008
JANGAN TIDUR SORE-SORE YA......
Ma, lagi ngapain ? Nanti jangan tidur sore-sore ya ??
SMS mama, 17.40 Wib
Emang kenapa ( curiga neh ), aku khan gak pernah tidur sore-sore
SMS Papa, 17.43 WIB
Nonton Cinta Fitri ya, he....3x
** Kirain mau diajak kemana or mau ngapain ? taunya..... becandaain doang
Nyanyiholic
Kalo Marty & Damai nenenholic, kalo dika Nyanyiholic
Semenjak mulai sekolah, hobi Dika nyanyi pakei mike (mike boong-boongan ) makin menjadi-jadi.... ( mang pengin jadi penyanyi ya ka ? )
Nyanyinya pake joget segala....
Lagu-lagu andalan :
* Seorang Kapiten
* Naik - Naik ke pUncak Gunung
* nama - nama hari
* I Love you ( Barney song )
* Ok ( T2 )
* SMS
Yang dua terakhir mah kacau......susah ngelarangnya.... :(
Perspektif Baru - Edisi 645 | 28 Jul 2008 ** Sehat Itu Mudah dan Murah **
http://www.perspektifbaru.com/wawancara/645
Purnamawati Sujud Pujiarto
Sehat Itu Mudah dan Murah
Edisi 645 28 Jul 2008
Tamu kita Dr. Purnamawati Sujud Pujiarto akan menyampaikan pesan tentang bijak dalam penggunaan obat dan berkunjung ke dokter. Dia aktif mengkampanyekan bahwa sehat itu mudah dan murah melalui situs dan mailing list.
Menurut Purnamawati, kesehatan itu mudah dan murah, hanya kita saja membuatnya misterius. Jadi kelihatannya susah, complicated, rahasia, hanya dokter yang tahu. Dalam hal ini masyarakat hanya perlu cukup aktif mencari panduan untuk menjaga kesehatan dan menghadapi gangguan kesehatan. Panduan tersebut cukup banyak terdapat di situs-situs kesehatan termasuk di mailing list dan situs kesehatan yang dikelolanya.
Purnamawati mengatakan pasien juga harus berdaya karena yang memiliki tubuh adalah mereka sendiri. Jadi, saat ada gangguan kesehatan maka nomor satu yang harus dilakukan adalah bertanya kembali, sudah perlu atau belum ke dokter. Kedua, harus jelas tujuan ke dokter seperti, apakah mau tanya diagnosis? Ketiga, kalau dikasih obat jangan senang dan bangga tapi tanya dulu, apa betul butuh obat, berapa obat yang diberikan, karena tidak semua gangguan kesehatan membutuhkan obat termasuk antibiotik.
Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Purnamawati Sujud Pujiarto
Anda mengatakan di media, "Please say no to puyer" (katakan tidak pada obat puyer). Namun kita semua mengetahui bahwa hampir setiap orang saat kesehatannya terganggu selalu berpikir bahwa yang dibutuhkan adalah obat. Menurut Anda selaku dokter, apakah cara pandang ini sudah benar?
Memang tidak sedikit terjadi kekeliruan di benak kita semua, baik konsumen maupun pemberi jasa layanan kesehatan. Pandangan terhadap obat tadi hanya salah satu bentuk kekeliruan, tetapi masih banyak yang lainnya. Misalnya, kita menganggap kesehatan itu penting setelah jatuh sakit. Padahal justru yang paling penting itu bagaimana menjaga agar kita tetap sehat. Kedua, ketika jatuh sakit sebenarnya hal pertama yang harus ada di benak kita adalah mengapa kita jatuh sakit, apa penyebabnya? Kalau saat ini tidak. Kita batuk maka pergi ke dokter dan meminta obat batuk. Seolah-olah diagnosa itu menjadi tidak penting, yang penting gejalanya hilang. Celakanya, ketika seseorang mempunyai lima atau enam gejala bisa saja dia berakhir dengan pulih farmasi karena satu gejala, satu obat. Itu kendala kalau kita terpaku pada gejala bukan mencari penyebab permasalahan.
Tapi sebagian besar pasien-pasien yang datang ke dokter memang ingin cepat sembuh. Apakah memang seakan-akan dikondisikan pasien adalah obyek yang pasif?
Ya, padahal sebagai yang mempunyai badan semestinya pasien adalah pihak yang paling berkepentingan akan kesehatan dirinya. Ironisnya, kalau berbelanja alat elektronik kita jauh lebih kritis ketimbang ketika belanja alat kesehatan. Ketika berbelanja alat elektronik, kita meluangkan waktu lebih banyak, mencari tahu dulu, dan selalu membeli lengkap dengan buku manual. Namun ketika berbelanja alat kesehatan, kita tidak kritis.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Kesatu, mungkin karena budaya kita paternalistik. Kedua, memang mungkin budaya paternalistik ini sedikit banyak dibiarkan menjadi subur. Di era informasi ini masyarakat seharusnya dengan mudah bisa mengakses informasi yang benar untuk mengetahui ke mana harus pergi, dan situs-situs mana yang harus dikunjungi. Di sisi lain, layanan kesehatan yang profesional adalah selain etis yang artinya mengedepankan kepentingan pasien, juga harus kompeten yaitu sesuai perkembangan keilmuan karena ilmu senantiasa berkembang.
Namun untuk penyakit-penyakit gangguan harian, misalnya selesma, flu, diare akut tanpa darah, sudah ada panduannya dan tidak ada perubahan yang signifikan. Semestinya semua orang bisa mengatakan kepada pasiennya bahwa itu karena infeksi virus. Infeksi virus disebut sebagai self limiting disease artinya akan sembuh sendiri dan sama sekali tidak memerlukan antibiotik.
Namun di Indonesia beda bahwa karena banyak kumannya, sehingga meskipun infeksi virus tetap diberi antibiotik. Karena itu tingkat peresepan (pemberian resep) antibiotik di Indonesia tinggi sekali. Akhirnya timbul kekeliruan bahwa si A sembuh dari flu karena obat yang diberikan oleh dokter. Akhirnya, menjadi kebiasaan setiap kali mengalami gangguan yang sama meminta obat termasuk minta antibiotik karena dianggap cespleng (manjur). Itu karena kita para dokter kurang meluangkan waktu untuk memberikan penjelasan. Dokter cenderung menukar proses konsultasi dengan penulisan secarik resep karena menulis resep itu cenderung jauh lebih mudah ketimbang menerangkan, mengedukasi dan menenangkan pasien.
Mengapa itu tidak bisa dilakukan, apakah itu memang sudah menjadi ritual bahwa pasien datang ke dokter untuk melihat dokter menuliskan resep ketimbang mereka mendapatkan informasi yang dibutuhkan mereka?
Ya. Karena itu saya dalam setiap kesempatan selalu mengajak, yuk coba kita merenung, apa sih maknanya datang ke dokter? Apakah untuk meminta obat? Datang ke dokter itu untuk konsultasi karena yang sulit itu adalah untuk menegakkan diagnosis. Ok, kalau flu atau diare akut itu mudah. Tapi kalau kita terbiasa atau terpaku hanya mengobati gejala maka ketika berhadapan dengan suatu penyakit yang agak serius akan bisa tersesat. Ritual semacam ini seharusnya perlahan-lahan bisa dikikis. Caranya, kedua belah pihak, baik dokter maupun pasien, mau introspeksi diri, mau belajar.
Tadi Anda mengatakan bahwa persoalan yang mendasar adalah bagaimana mengubah kultur kita bahwa kalau sakit perlu obat. Padahal tidak semua persoalan kesehatan kita terapinya obat. Sebetulnya bagaimana kita mengobati diri sendiri untuk penyakit harian seperti flu, pilek, sakit kepala sebelum ke dokter atau sebelum akut?
Jadi ada beberapa isu dari pertanyaan tersebut. Kesatu terapi, kedua penyakit harian, ketiga peran self medication (mengobati diri sendiri). Mengenai terapi, kalau kita kembali ke definisi World Health Organization (WHO) ada lima bentuk, yaitu kesatu, professional advise artinya nasihat profesional, hal ini juga bisa dikategorikan sebagai obat. Ketika penderita demam berdarah datang ke saya maka akan dijelaskan bahwa demam berdarah itu ada dua jenis, demam dengue dan demam dengue yang berdarah (DBD). Saya akan menerangkan bahwa ini termasuk penyakit infeksi virus, self limiting. Kuncinya satu yaitu cairan. Jika kondisinya baik, keadaan umumnya baik, maka tidak perlu dirawat. Tapi kita memberitahu pasien kapan harus segera kembali kalau ada gejala A, B, C, D. Di masyarakat kita omong-omong atau informasi tersebut dianggap bukan obat.
Bentuk terapi kedua yaitu non-drug treatment. Misalnya anak gemuk, kita memeriksa SGOT & SGPT, apakah fungsi hatinya terganggu? Terapinya bukan obat, terapinya adalah mengatasi kegemukannya, mengubah pola hidup. Terapi yang ketiga barulah obat, seperti untuk hipertensi, kencing manis. Terapi yang keempat yaitu rujukan. Di sini juga ada masalah. Ada persepsi kalau kita meminta second opinion (pendapat alternatif) seolah-olah terdapat ada ketidaksenangan, pasien takut dokternya merasa kurang dipercaya. Padahal rujukan itu menguntungkan buat keduanya. Kesatu itu hak pasien, kedua, dokter juga terhindar dari kemungkinan berbuat salah. Bentuk terapi yang kelima adalah kombinasi.
Jadi di sini kita lihat bahwa WHO saja sudah menyatakan obat hanya salah satu bentuk terapi. Jangan dibalik. Ada gangguan kesehatan langsung meminta obat. "Dok, anak saya pilek, minta obat". "Anak saya diare, minta obat." Seharusnya, "Dok, anak saya diare, kenapa?" Karena pertanyaan ‘kenapa’ akan menuntun kita ke arah diagnosis. Kalau sudah dapat diagnosis kita tinggal melihat panduan/guideline-nya. Nah, untungnya di era informasi ini kita bisa mengakses informasi guideline-nya. Misalnya, di situs Ikatan Dokter Anak Amerika dengan mudah kita bisa meminta guideline. Misalnya, anak kita eksim maka kita tinggal menulis dermatitis, eksema, dan meminta guideline-nya. Nanti keluar apa penyebabnya, bagaimana menanganinya, bagaimana mencegahnya. Ada transparansi.
Apakah di Indonesia juga ada semacam hal itu?
Organisasi profesinya sudah mulai tapi belum untuk awam. Tetapi tidak masalah karena eksim di seluruh dunia sama saja menanganinya.
Untuk mengakses kesehatan itu rasanya agak eksklusif?
Memang dibuat seperti eksklusif tapi sebetulnya tidak eksklusif. Ya, di Indonesia kalau bisa dibuat susah kenapa dibuat gampang. Seolah-olah kesehatan itu misterius. Padahal dalam dunia kedokteran, dalam dunia kesehatan itu tidak boleh ada rahasia.
Ini sebetulnya berguna sekali buat masyarakat awam memahami penyakit sehari-hari. Mengapa tidak diberikan pedoman khusus buat kita cara mengatasinya dalam bahasa Indonesia sebagai pengetahuan karena pendidikan pasien itu sangat beragam? Apakah di sini belum ada semacam situs untuk memberikan informasi semacam itu?
Bisa googling, ada beberapa situs. Sekarang kita ada mailing list kesehatan. Kami membuat web sehat www.sehatgroup.web.id Kita menerjemahkan beberapa guidelines dari luar negeri, seperti penyakit bawaan anak, batuk, diare, demam, sehingga masyarakat tahu bahwa demam itu sebetulnya justru functional. Ada tujuannya Tuhan menciptakan fenomena demam karena itu bagian dari mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan infeksi. Demam itu bukan penyakit, itu alarm, cari penyebabnya. Demamnya sendiri tidak berbahaya. Penyebabnya yang kita teliti. Itu yang disebut dengan guideline.
Masyarakat seharusnya menguasai guideline untuk penyakit ringan seperti demam, batuk, pilek, diare, muntah, dan sakit kepala karena itu tinggal browsing di google.com, atau masuk ke situs www.americanfamilyphysician.com atau ke situs mayo clinic. Jadi kita bisa mengetahui kalau sakit kepala berkelanjutan harus hati-hati karena mungkin bisa sinus, gigi, mata, bisa tumor otak. Nah itu penyebabnya dan tugas dokter di situ. Jadi jangan mengeliminir tugas dokter menjadi hanya pemberi obat.
Saya sangat setuju sekali bahwa kita harus mengubah kultur mengenai kesehatan agar saat kita sakit mengetahui kapan memerlukan obat karena terapi juga bagian dari obat. Bagaimana cara mengubah kultur kita yang demikian?
Kita harus terus bekerjasama, bahu membahu, yang mempunyai kesempatan, yang mempunyai kemampuan harus belajar. Ibaratnya, mengapa kita bisa teliti dan kritis kalau saat membeli HP, namun kok saat membeli obat buat anak, puyer pula, kita tidak kritis dan tidak mencari tahu apa saja obat yang ada di dalam situ, apakah cocok dengan gangguan kesehatan si anak. Masyarakat seharusnya mengetahui baik dan bahayanya peresepan obat dalam bentuk puyer. Ketika di negara tropis stabilitas obat saja sudah dipertanyakan, ini malah dicampur dan digerus.
Apakah tradisi obat puyer ini hanya di Indonesia saja atau negara lain?
Hanya di Indonesia. Karena itu saya mengatakan apa sih dosa anak Indonesia sehingga dapat puyer. India yang miskin tidak ada puyer. Afrika yang miskin juga tidak ada puyer. Salah satu dalih dokter karena puyer itu murah, kalau menurut saya itu tidak benar. Dalih dokter untuk mempertahankan puyer itu semata-mata karena sulit untuk keluar dari comfort zone. Jadi mari kita bersama-sama yuk kita keluar dari comfort zone itu.
Apa yang dokter maksud dengan comfort zone?
Menulis resep itu tidak sulit, tiga menit selesai. Resepnya template. Coba kumpulkan resep buat 1.000 anak. Isinya kurang lebih sama. Ironisnya, kita menunggu dokter 30 menit tapi di ruang konsultasi hanya lima menit. Ini seharusnya terbalik. Kalau menurut saya bukan salah tenaga medisnya, ini kesalahan kita bersama. Kalau kita lihat hak azasi manusia, salah satu klausulnya adalah hak memperoleh layanan kesehatan yang terbaik itu hak buat semua orang.
Mengapa guideline kesehatan hanya dimuat situs? Bagaimana cara mereka mengakses situs tersebut?
Untuk mengakses informasi kesehatan yang paling efisien dan efektif adalah dari internet. Saya mengasuh milis sehat, yaitu sehat@yahoogroups.com yang anggotanya hampir 7.000 dan 93% dari anggota tersebut tidak memiliki komputer di rumah.
Mereka mengaksesnya di kantor sewaktu lunch, atau pagi-pagi, atau mau pulang kerja mampir ke warung internet (Warnet). Satu jam di Warnet hanya Rp 10.000, sedangkan berapa biaya ke dokter? Tuhan itu maha adil, dan orang miskin itu disayang Tuhan. Anaknya batuk, pilek, meler tidak dibawa ke dokter anak. Anaknya main bola, main di sungai, hujan-hujanan, viral infection (infeksi karena virus), makannya lalap. Sedangkan anak kota makannya junkfood. Sakit sedikit dibawa ke dokter. Tiga hari masih meler dibawa ke dokter lagi diganti antibiotiknya dan dikasih yang lebih kuat. Padahal jelas ini adalah viral infection. Makin sering anak dikasih antibiotik akan makin sering sakit. Tapi tolong dicatat bahwa ini bukan masalah anti terhadap antibiotik. Antibiotik adalah barang yang sangat berharga dan salah satu penemuan penting dalam dunia kedokteran. Saya malah mengatakan itu karunia Tuhan yang luar biasa, sama seperti vaksin, dengan catatan gunakanlah dengan benar dan bijak.
Bagaimana cara menggunakan antibiotik dengan benar?
Itu musti tesis sendiri. Di makalah itu saya tulis, kalau pilek jelas tidak butuh antibiotik, berapapun suhu si anak. Diare tanpa darah mau 10 - 11 kali sehari tetap tidak butuh antibiotik. Nah, guideline-guideline seperti itu bisa dilihat di Centers for Disease Control (CDC) bisa juga lihat di web sehat. Mudah sekali sebenarnya. Makanya saya tulis di makalah sebetulnya kesehatan itu mudah dan murah, hanya kita saja membuatnya misterius. Jadi kelihatannya susah, complicated, rahasia, hanya dokter yang tahu.
Walaupun saya yakin ini ada di situs, kapan sebetulnya kita perlu antibiotik?
Kita membutuhkan antibiotik jika ada infeksi kuman jahat yang tidak dapat diatasi oleh tubuh. Jadi ada dua hal. Kesatu, ada kuman jahat. Kedua, tubuh tidak bisa mengatasi sendiri. 98% kuman itu baik. Badan kita penuh dengan kuman. Jadi kuman jahat itu seperti TBC, infeksi saluran kemih, tifus tapi bukan gejala tifus. Tidak ada diagnosis gejala tifus. Adanya tifus atau bukan, tidak ada diagnosis gejala. Apalagi diagnosis yang ganda seperti, "Ibu, ada gejala DB dan gejala tifus." Itu biasanya bukan kedua-duanya. Seharusnya kita bertanya, "Dok, ini DB atau bukan? Tifus atau bukan?" Jawabannya harus salah satu. Bukan kedua-duanya. Itu gunanya kita membekali diri sehingga ketika kita jatuh sakit kita sudah mempunyai pemahaman. Sepanik-paniknya pun kita tetap bisa berdiskusi dengan dokternya karena ini badan kita. Jadi infeksi yang perlu antibiotik adalah TBC, tifus, meningitis dan infeksi-infeksi yang berat, pneumonia yang berat.
Jadi kalau pilek dan batuk itu belum perlu?
Tidak. Cuma di Indonesia batuk pilek berobat ke dokter anak. Jadi ketidaktahuan pasien jangan terus dipelihara. . Mohon maaf.
Saya tertarik dengan soal puyer. Ketika kita mempunyai anak kecil dan diberikan puyer, apakah sebagai pasien kita bisa menolak pemberian puyer oleh dokter dan minta diberikan obat lain karena menurut dokter Purnamawati puyer itu tidak selalu kita butuhkan?
Bukan tidak selalu, puyer memang tidak dibutuhkan. Jangan ada abu-abu, kita tegas saja. Jadi begini, ketika membawa anak ke dokter, nomor satu kita harus tahu alasannya kenapa kita ke dokter. Nah, orang Indonesia hobinya ada dua, yaitu ke mall dan ke dokter. Sedikit-sedikit ke dokter. Makanya tadi saya mengatakan Tuhan itu sayang dengan orang miskin. Diare tetap diberi air susu ibu (ASI), membuat air tajin, membuat air daun jambu, maksudnya sih cairan. Ketika orang kota berobat ke dokter dan diketahui bahwa ini diare akut karena virus yang obatnya cuma satu yaitu oralit, mereka marah. "Memangnya saya orang miskin, sudah antri begitu lama ternyata cuma diberikan oralit. Tahu seperti itu saya berobat ke Puskesmas saja." Padahal oralit itu adalah salah satu penemuan yang sangat berharga dalam dunia kedokteran yang berhasil menyelamatkan ratusan jiwa manusia. Orang kota menganggap oralit bukan obat. Orang kampung kalau sakit sekali baru datang ke Puskesmas dapatnya oralit. Jadi, justru kelas menengah sosial ke atas ini yang paling terpapar pada pola pengobatan yang tidak rasional dan pada perpuyeran itu. Dengan asumsi ingin anaknya cepat sembuh dengan berbagai alasan seperti ibunya sibuk, tidak ada pembantu, tidak ada waktu, panik, tidak tega, dan lain-lain. Saya suka mengembalikan seperti ini mari kita reposisi perasaan tidak tega itu.
Untuk infeksi virus yang tidak butuh obat, apakah kita tega memberikan anak kita begitu banyak obat? Ingat, populasi yang paling rentan mengalami efek obat itu adalah manusia usia lanjut (manula) dan anak kecil. Kalau orang tua sakit, saya stres setengah mati. Kalau cucu sakit, saya stres. Tapi stres ini mari kita arahkan ke energi positif. Kalau untuk penyakit harian bacalah guideline kesehatan. Kurikulum kesehatan bagi para orang tua itu cuma empat, yaitu demam, batuk-pilek, diare, muntah, lalu ditambah pemberian makan dan imunisasi yang benar. Cuma empat, dibandingkan sama kurikulum SMA juga kalah. Masa kita tidak mau belajar agar kita tahu.
Kembali ke soal puyer, puyer itu banyak sekali maslahatnya, tetapi ketika anak ke dokter, nomor satu kita tanya indikasinya. Kalau sudah bergabung di milis sehat dan baca pasti tahu. Batuk-pilek itu tidak usah ke dokter kecuali sesak, biru, tapi jangan disamakan dengan asma. Di Indonesia anak batuk itu memakai obat asma, keliru sekali. Jadi untuk menenangkan orangtuanya kadang-kadang saya nakal. Saya kasih saja terapi agar ibunya tenang. Padahal anaknya tidak butuh obat tapi sebagai dokter anak, saya butuh ibunya puas.
Jadi, kalau ke dokter nomor satu harus bertanya kembali, sudah perlu atau belum ke dokter. Kedua, harus jelas tujuan ke dokter, seperti apakah mau tanya diagnosis? Misalnya, "Dok, bagaimana guideline-nya untuk asma. Yang saya baca guideline-nya seperti ini tapi saya kurang paham. Tolong terangkan Dok." Jadi pasien juga harus berdaya karena yang mempunyai badan adalah pasien itu sendiri. Ketiga, kalau dikasih obat jangan senang dan bangga. Nomor satu kita tanya dulu, apa betul anak saya butuh obat, berapa obat yang diberikan. Misalnya, "Mohon maaf Dok, yang pertama ini obat apa?" Biasakan menghitung jumlah obat di kertas resep. Menghitungnya gampang, hitung saja jumlah barisnya. Kalau lebih dari dua baris, jangan ditebus sebab kalau anak kita gawat bukan resep yang diberikan melainkan oksigen, infus, dikirim ke unit gawat darurat (ICU) dihubungi. Kalau interaksi itu masih berakhir dengan secarik kertas resep artinya anak-anak kita masih dalam kondisi baik. Tunggulah sebentar, cari informasi dan tanya dokternya. Misalnya, kalau diberi antibiotik, tanyakan ini antibiotik apa? Antibiotik kelas mana? Apakah ringan, sedang, atau berat?" Kalau diberi yang berat, tanyakan, "Dok, kok dikasih kelas berat memangnya anak saya sakit apa?" Nah, terkadang kita keliru meminta dokter antibiotik yang paling mahal, yang baru, yang paten, dengan pertimbangan buat anak saya mahal tidak masalah. Padahal di Indonesia, mahalnya ongkos tidak identik dengan kualitas yang baik, mohon maaf.
Sumber dari sini
* Bunda cantik ya....Senin, 28 Juli 2008
sttttt....(episode 2 )
Meskipun bulan ini telat gajiannya
Si boss gak argue......gak juga langsung Approval.....gak juga langsung disposisi
Tapi ..............Alhamdulillah, besok kami akan menerima gaji yang baru sesuai dengan permintaaan....
Terima kasih ya temen-temen atas doanya......
Sedana Golf CC
Sabtu kemarin, mama and Dika ikut papa kerja ke Sedana Golf CC.
Tadinya setelah selesai pengin pinjem mobil golf untuk jalan-jalan dilapangan golf, tapi ternyata pas kita selesai ada turnamen. Ya sud langsung pulang dech.
Gak nyangka Dika manis banget disana, gak rewel, gak ngajakin pulang, malah repot ngebantuin papa.....
Si Botak
Waktu si ganteng Nat ultah 30 Jun yang lalu, Dika dikasih souvenir Boneka Horta yang lucu banget.
Boneka ini awalnya gundul, tapi menurut petunjuk harus direndam selama 1 jam trus selama seminggu disiram bagian kepalanya, nanti akan tumbuh rambut ( baca : rumput).
Nah, kemarin baru sempet nengokin si Botak, taunya dah panjang rambutnya.....
Kamis, 24 Juli 2008
sttttttt
KAMU KOK HITAM
* bu guru sampe minta maaf sama eyang gara-gara Dika dikatain begitu, soalnya tahun ajaran yang lalu beberapa anak ngambek gara-gara sering dikatain sama Rafi
hihihihi....
Kalimat pada judul adalah komentar Rafi ( 3,5 th temen sekelas Dika ) hari Rabu yang lalu...Tahun ini tahun keduanya di KB Dimurti.
Nie anak bandelnya setengah mati, semua anak dikelas hampir semua kena pukul ataupun direbut makanannya sama Dia, yang sering jadi sasaran adalah si Nabil ( 2,5 thn). Kemarin dia digetok pake krincingan bu guru.
Nah karena itu, Ibu-Ibu or termasuk eyang belum berani ninggalin anak-2 di kelas sendiri. padahal menurut kepala sekolah Senin lalu harusnya anak-anak sudah mulai sendiri.
Dika belum pernah kena towel sama ni anak, soalnya Eyang jagain terus (padahal aku ma papa penginnya biarin aza, Dika gak usah terlalu dijagain, biar dika belajar mempertahankan dirinya, tapi dasar eyang sayang cucu, ya gitu dech, sayang-sayang...hihihi)
6 tahun yang lalu itu..........( Happy Anniversary Pa )
Judul : Kebyar-Kebyar
Penyanyi : Gombloh
Merah darahku, putih tulangku. Bersatu dalam semangatmu
Indonesia …
Debar jantungku, getar nadiku. Berbaur dalam angan-anganmu
Kebyar-kebyar, pelangi jingga
Indonesia …
Merah darahku, putih tulangku. Bersatu dalam semangatmu
Indonesia …
Nada laguku, symphoni perteguh. Selaras dengan symphonimu
Kebyar-kebyar, pelangi jingga.
Lagu inilah yang membuat saya mengenal seorang tetangga pria pada acara malam seni " 9 September 1995"
Yang membuat saya akhirnya menyambut uluran tangan pria itu saat Ia mengatakan apakah aku bersedia menjadi pacarnya............ ( 18 Sep 1995 ).
Hidup adalah sebuah pilihan.....
6 tahun lalu, 9 Agustus 2002,
kami akhirnya menyatukan tali kasih yang telah terjalin selama 7 tahun dalam ikatan pernikahan. Lagu kami menjadi " Cinta Putih-nya Katon Bagaskara "
Sepenuhnya terjalin pengertian antara engkau dan aku...
Masihlah Panjang ....jalan hidup mesti ditempuh
Semoga tak lekang oleh waktu.....
Cukup bagiku, hadirmu membawa cinta...selalu
Lewat warna sikap...kasihmu, kau ungkap.....
Jika kau bertanya sejauh mana cinta membuat bahagia
Sepenuhnya terimalah apa adanya 2 beda menyatu.....
saling mengisi.....
Tanpa pernah mengekang diri.....jadikan percaya yang utama....
Lewat warna sikap...kasihmu, kau ungkap.....tlah terjawab
( * kalo salah teksnya mohon maaf ya, lupa-2 inget )
Terima kasih telah menjadi belahan hatiku
Terima kasih telah menjadi Nahkoda dalam hidup kita
Terima kasih telah menjadikanku sebagai wanita yang sempurna karena telah menjadikanku sebagai seorang " Ibu ". Seorang Ibu dari buah cinta kita " Andika "
Semoga kita bertambah dewasa
Semoga cita-cita kita bisa terwujud dikemudian hari
Semoga Allah SWT selalu memberikan kita kesehatan,
kesabaran dan juga keteguhan hati agar bisa mendidik,
menjaga, membesarkan Andika dengan baik, memenuhi haknya dan menjadikannya Anak yang Sholeh dan berbhakti
Ternyata Perjalanan kita masih panjang ya Pa,
Dengan harapan, doa dan izin Allah SWT
mari kita raih mimpi dan cita-cita kita yang belum terwujud
Semoga Allah SWT memberikan kita umur yang panjang agar kita dapat
beramal dan berzakat yang sebanyak-banyaknya. Amin...
Rabu, 23 Juli 2008
Beauty Class
Mau minta referensi untuk tantenya Dika.
Di Kantornya mau diadakan Beauty Class untuk Karyawati
Nah sekarang dia lagi kebingungan cari guru, salon or perusahaan yang menyediakan jasa ini.
Lokasi di Jakarta Barat - Sekitar Tomang or Cideng ( ada 2 kantor )
Ditunggu infonya yach
Makasih banyak
- Shinta -
Selasa, 22 Juli 2008
Sang Idola Cilik
Gara-gara tiap minggu nonton Idola Cilik, Kalo lagi mau nyanyi, Dika pasti ambil sesuatu, bisa remote, bisa tempat minumnya, bisa Hand phone, apa aza yang didekatnya seakan-akan itu mike dan dia akan bergaya seperti penyanyi sesungguhnya.
Setelah nonton live, makin menjadi-jadi gaya nyanyinya, di kamar mandi ( pake gayung ), ditempat tidur ( pake guling ), lagi belajar ( pake pencilnya )
Hihihihi....katanya kayak Titi ( Kiki Idola Cilik )
Senin, 21 Juli 2008
Nonton Live Grand Final Idola Cilik
Asli gak sangka banget, Sabtu, 20 Juli 2008 kesampaian juga nonton Live final Idola Cilik.
Secara sudah hopeless dapatin tiketnya, tapi Kamis sore dapat Gtalk dari Mba Ria, nanyaian masih berminat gak nonton Final Idocil....Ya iyalah, masa iya dunk.
Akhirnya, Jum'at jam 3 sore tiket udah ditangan, ech ada masalah baru, ternyata papa gak bisa nemenin, ada acara di Depok yang gak bisa ditinggalin. Hikss...
Minta anterin siapa ya ? Mbah Kakung,,,,,hm pasti debat dulu dech karena ngajakin Dika nonton live. Om Nanu....hmmm, malam minggu, dia pasti mau kencan ma ceweknya....masa naik taxi...
Ech, minta tolong si bos, Alhamdullilah dapatlah pinjeman 1 mobil + drivernya....hihihi....makasih ya Pak.
Tapi hati masih dag dig dug, secara inilah pertama kali ngajak Dika Nonton Live, kalau Dika gak betah dan ngajak pulang ditengah acara, hmmmm pasti mama yang rugi.
Ech, ndalalah Dia nyaman banget disana, meskipun nontonnya sambil naik dibangku....(gak dapat view yang bagus nich), ditegur sama panitia (abis yang didepan pada diri juga sich), tapi sampai acara habis, Dika sungguh menyenangkan, gak rewel sama sekali. Dia malah heboh ikutan sorak sorai penonton lain (termasuk mama sich)...Titi..titi....( maksudnya Kiki, kiki ).
Kemarin bukan Dika aza yang seneng, mama juga seneng soalnya KIKI jadi juara, gak sia-sia dech ngantri 1 jam untuk masuk ke tempat acara ( hikks, sambil gendong dika lagi)
Dika & sekolah
Senin lalu Dika sudah mulai sekolah di KB Dimurti - Ciledug.
Hari Pertama, dilalui dengan baik tanpa menangis ( temennya pada nangis....), cumaaaaa dia gak mau ikut beraktivitas alias diem seribu bahasa, ditanya namanya gak mau jawab, disuruh nyanyi gak mau, gak mau ngobrol sama temennya.... ( mamah cuma geleng-geleng aza, hihihi)
Hari Kedua, masih dilalui tanpa suara merduanya, hari ini olahraga, Dia juga gak mau ikutan, malah minta gendong....hihihihi ( tapi dia dah hapal rutinitas pas sampe disekolahnya, copot sepatu & taruh di rak, cium tangan bu guru, taruh tas diloker, trus duduk dekat bu guru, Eyang gak boleh duduk dekat Dika ...)
Hari Ketiga, dah mau aktivitas sedikit sama temennya, dikit doang, masih diem kalo ditanya bu guru tapi mau disuruh melipat dan menempel, pulangnya paling belakangan karena masih sibuk bikin benang kusut... hihihi....
Ternyata, Dika beneran Jagoaan Kandang, kalo dirumah mulut gak berenti ngomong, nyanyi dan nangis, di rumah yang diajarin disekolah diulangnya, nyanyi, berhitung dan lompat-lompat. Kalo di sekolah.....* hmmm, geleng-gelang aza dech.
Tapi, papa bilang :
"gak apa - apa mah", jangan khawatir, Dika butuh waktu untuk mengenal seseorang yang baru dia kenal, dia butuh waktu untuk memastikan bahwa orang yang baru dikenalnya bisa menyenangkan hatinya, bisa membuatnya amam. Dika unik, Dika memang "agak" pendiam, tapi percaya dech mah, Dika tuch pintar..... ( halah si papa ngalem anaknya sendiri ). Sekarang, yang penting Dika betah dulu berada disekolahnya. Khan anak beda-beda mah, kita gak boleh memaksakan kehendak kita, biarlah Ia berkembang sesuai kemampuannya, dan tugas kita mengarahkan dan membimbingnya dengan cinta...( sok puitis dech si papa )
Hari ini, dikelas sudah gak boleh ditungguin, mudah-mudahan Dika bisa melalui dengan baik. Amin
Kamis, 17 Juli 2008
Wangi apa ini ?
Tanggal ; 16 Juli 2008
Tempat : Ruangan kerjaku
Aku hirup wanginya tapi bukan wangi parfumku,
Aku cek keluar ruangan, gak ada siapa - siapa
Aku cek ke ruang tamu, gak ada bekas orang masuk
Aku cek disekitarku, gak ada wangi seperti ini
Jadi wangi apa dan siapa ya.....
Hiiii......
*** langsung kabur dari kantor.....
Senin, 14 Juli 2008
3 Vaksin Penting Pra Kehamilan
Monday, 14 July 2008 | |
Di Indonesia, persiapan kehamilan secara khusus dengan vaksinasi masih jarang dilakukan. Padahal, pemberian vaksin prakehamilan penting bagi pertumbuhan janin. Kebanyakan perempuan baru datang ke dokter setelah kehamilan mereka memasuki usia satu atau dua bulan. Padahal, pemberian vaksin prakehamilan penting bagi pertumbuhan janin. Terlebih lagi pada 8 minggu pertama ketika fase embriologis berlangsung. Pada masa ini kesehatan ibu harus terjaga secara baik, agar tidak mempengaruhi pertumbuhan janin.
Tidak ada yang dapat dilakukan terhadap janin bila di masa hamil ibu terinfeksi rubela. Pada umur kehamilan 16-20 minggu, cacat bawaan yang dialami janin adalah ketulian. Sedangkan infeksi rubela pada ibu dengan usia kehamilan lanjut (> 20 minggu) jarang menyebabkan cacat bawaan. Bayi yang terkena cacat karena rubela akan terus menyandang kelainan tersebut selama hidupnya. Umumnya 1 dari 10 bayi yang mengalami infeksi rubela akan meninggal dalam usia satu tahun. Tidak ada yang dapat dilakukan terhadap janin bila di masa hamil ibu terinfeksi rubela. • Vaksinasi TT (Tetanus Toksoid) • Vaksin Hepatitis Risiko penularan tetap tinggi, sekalipun bayi dilahirkan melalui bedah caesar. Meski tidak ditemukan cacat bawaan pada bayi yang terinfeksi hepatitis B sejak dalam kandungan atau jika ibu di masa hamil menderita hepatitis B, bayi-bayi tersebut dapat mengidap penyakit-penyakit hati kronis seperti hepatitis kronis, sirosis hepatis dan hepatoma (tumor hati yang ganas). |
Source : disini
Selasa, 08 Juli 2008
6 HARI MENJELANG HARI SEKOLAH TIBA
Nah, tahun ini Dika juga mulai sekolah, masih dikawasan dekat rumah, emang cari yang dekat, biar lebih efisien.
Kemarin baru ambil seragamnya, ech celananya kekecilan, sudah telpon Ibu Kepsek dan besok bisa ditukar. belum bisa ngebayangin apakah si kunyil ini akan betah pake seragam sekolahnya yang note benenya adalah Kemeja ( Dia gak suka pake Kemeja )
Tas baru belum dibeliin yang baru, soalnya memang belum sempet dan Dika punya Tas Winnie the Pooh hadiah pas Ultahnya yang ke-3, belum pernah di Pake dan keren banget tasnya, ada temen pensil dan tempat minumnya.
Nah, karena sudah mau sekolah, Eyang Kung hari Jum'at lalu bawa Dika ke tukang cukur, rambutnya yang cuma seuprit itu akhirnya dibabat tukang cukur (jadi keliatan bulet banget, pipinyadah chubby lagi)
Persiapan lainnya, mesti ngumpulin Buku Tulis, Buku Gambar, Pensil, Crayon, Lem Stick, Gunting dan sendal Jepit. Selain itu saya lagi pusing mikirin menu untuk bekal Dika. Hikss.
Teman, share ya kalo punya menu-menu untuk bekal sekolah ke mama.andika@gmail.com
Apa lagi ya ????
JANGAN ADA DENDAM.....
hmmm....pertanyaan ini ditujukan tanteku kepada Papa sewaktu kami nginap dirumahnya. Gampang - susah menjawab pertanyaan tersebut, semua akan berpulang kepada pribadi si Anak.
Minggu lalu saya bertemu dengan bude saya, Beliau bercerita bahwa suaminya memperlakukan anak-anak dengan kasar meskipun hanya cacian tapi itu lebih menyakitkan daripada pukulan. Satu waktu pada saat suaminya dirawah di Rumah sakit, anak-anaknya hanya datang untuk menjenguk, itupun pada hari keberapa setelah suaminya dirawat. Bude sangat sedih melihat kenyataan ini, apakah yang akan terjadi jika semua harta diambil oleh Allah SWT, apakah anak-anak mereka akan membantu Ia dan suaminya jika Ia susah? entahlah, hanya Allah SWT yang memiliki jawaban atas semua pertanyaan-2 tersebut.
Saya ingin bercerita tentang kehidupan keluarga saya.
Saya 4 bersaudara, 2 perempuan dan 2 laki-laki.
Adik perempuan saya saat ini telah bekerja di salah satu perusahaan courier service besar di Indonesia. 1 adik laki laki saya baru lulus S1 dan saat ini masih mencari pekerjaan yang tetap sesuai dengan Pendidikannya (saat ini sudah bekerja freelance di Travel Agent ) dan 1 lagi sedang menyusun Skripsi.
Bapak saya termasuk orang yang keras, pelit dan ringan tangan dan sangat menjunjung tinggi kepentingan keluarganya (keluarga dari Bapak). Ibu saya seorang yang sabar, nerimo, ulet, pekerja keras dan lebih banyak memberikan kebutuhan sehari-hari yang tidak kami dapatkan dari Bapak.
Alhamdullilah saya jarang menerima hukuman ataupun pukulan dari Bapak saya, karena saya lebih bisa mengontrol emosi saya dan juga lebih penurut dibandingkan adik-adik saya.
Adik perempuan saya (W), sejak kecil ia sering menerima hukuman dan pukulan apabila mereka kerap bertengkar dan ini berlangsung sampai 2 tahun yang lalu. Adik saya memiliki sifat yang keras dan sangat persis dengan Bapak. Saat ini Ia memililih kost dekat kantornya untuk menghindari pertemuan dengan Bapak. Pada saat Bapak di Rawat kami sekeluarga memohon agar Ia dapat menjenguk Bapak di RS dan ini juga kami lakukan pada saat menjelang lebaran idul fitri.
Adik lelaki saya ( A ), sama seperti saya Ia jarang juga menerima hukuman dari Bapak saya, karena Ia lebih pendiam dan masa bodoh dengan keadaaan, dan inilah yang membuatnya sering dimarahi Bapak (tanpa pukulan).
Adik lelaki saya yang terakhir (C), seperti W, ia juga sering dimarahi dan dipukul apabila Bapak merasa Benar. Sifatnya hampir sama dengan A, tapi Ia sedikit lebih keras dari A.
Pikiran saya untuk tidak menghiraukan Bapak jika Ia tua, juga hilang setelah saya melahirkan Dika, semua berubah, tidak ada sedikitpun dalam ingatan saya untuk meninggalkan Bapak, tidak sekejabpun, tidak dalam kondisi apapun (papa Dikalah yang membuat saya berpikir untuk lebih bijaksana, untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian, makasih ya pa) .
Yang mengkhawatirkan saya adalah 3 adik saya terutama 2 adik laki-laki saya (kewajiban anak-anak laki-laki terhadap orangtianya tidak akan putus meskipun Ia sudah menikah), apakah mereka memiliki pemikiran yang sama dengan saya, apakah mereka bisa legowo melupakan semua perlakuan Bapak seperti halnya saya. Saya takut benar-benar takut dan Saya hanya bisa berdoa :
Ya Allah, kabulkanlah permintaan kami.
Berikanlah kami kekuatan untuk selalu menyayangi kedua orangtua kami seperti halnya Engkau menyayangi kami.
Semoga Bapak bisa lebih bijaksana dalam bersikap, lebih sabar, lebih mencintai keluarga ( bahwa anak-anak adalah bagian dari kehidupan Bapak, bahwa anak-anak sudah dewasa dan mereka sudah bisa diajak bicara dari hati ke hati) dan semoga Bapak selalu diberikan kesehatan serta berada dalam lindungan Allah SWT.
Semoga adik-adik saya memiliki hati yang luas untuk memaafkan Bapak, semoga Allah menghapus dendam dan pikiran jelak mereka terhadap Bapak.
Amin.
Note : menjelang ultah Bapak yang ke-50 (14 Juli 2008)
Kamis, 03 Juli 2008
ICW itu ternyata...........
Siang ini saya telah menerima Fax dan telpon lagi dari ICW....
Ternyata, entah saya yang kurang denger,
entah Bapak ini yang pengucapannya gak jelas....entahlah.
Ternyata saudara - saudara..............ternyata
ICW yang dimaksud adalah Eazyway..............
huahahaha.....asli saya terpingkal-pingkal....
Ternyata gak ada hubungannya sama sekali dengan
Indonesian Corruption Watch (ICW)
ICW
Agak ngeri sich denger kata 'ICW ",
eit tapi tunggu dulu ....... saya khan gak korupsi.
Dia bilang dia mau kirim fax ke saya dulu sebelum berbicara dengan saya....duh ada masalah apa ya....
TO BE CONTINUED......
Health services: Stools, fools and fungus
Pagi ini, baca email mba Ria di milis AFB ( juga ada dimilis sehat, thanks to Bunda Wati ), Sangat menarik untuk dibaca.
Ayo ayah, bunda kita belajar lebih banyak tentang kesehatan anak.
"SELAMAT MENIKMATI "
*******************************************************************
From: tristanathan
Date: 3 Jul 2008 09:13
Subject: [asiforbaby] [Artikel] Health services: Stools, fools and fungus
To: asiforbaby@yahoogroups.com
pagi moms.. dads...
sedikit melenceng dari masalah asi nih.. semoga gak dijewer mods... :)
artikel dibawah sangat menarik buat dibaca, ada beberapa point yang menarik sekaligus menyedihkan.
* pemberian AB yang tidak diperlukan mencapai 87 persen di negeri tercinta ini :(
* alasan yang dikemukakan oleh para dokter tentang 'over-prescription' ini, dari 3 yang diutarakan salah satunya adalah SIKAP PASIF pasien, yang mengganggap bahwa dokter tau yang terbaik! :(
yuk belajar lagi, biar anak2 kita, tidak perlu mengalami over-prescription hanya karena sikap orangtua-nya yang pasif. they deserve the best!
keep breastfeeding,
-ria-
*************************************************************************************http://www.thejakartapost.com/news/2008/07/02/health-services-stools-fools-and-fungus.html
Health services: Stools, fools and fungus
Julia Suryakusuma , Jakarta | Wed, 07/02/2008 10:53 AM | Opinion
Earlier this year I took myself and my nasty, persistent tummy problem to the doctor. After listening distractedly to my symptoms for a few minutes, he scribbled on his pad, prescribing antibiotics, without bothering to take any stool samples. Desperate to get better, I didn't argue and just gulped down the pills as quickly as I could. That night I felt even worse. I sms-ed him to ask what was up? His answer: perhaps I needed psychoanalysis.
Hello? Where did that come from? I agree there was a need for analysis, but at the other end of me, please!
Luckily, I got better on my own, but when my tummy started playing up again recently, I made sure I tried out a new doctor. This one was a big improvement. Much younger, he refused to prescribe antibiotics until all the proper tests were done. In the meantime he gave me medication to alleviate the symptoms and I struggled along until the next day, when the results of the lab tests came back. Turned out the culprit was fungus, and if I had been given antibiotics, it would have reduced the cash in my pocket, but not the bug in my belly.
Later, talking to Dr. Wati from the YOP (Yayasan Orang Tua Peduli, Foundation of Parents who Care -- www.sehatgroup.web.id), an NGO dedicated to building a better health community, I discovered that even a stool sample may not have been necessary. Unless there's blood (a sign that there's an amoebic infection), diarrhea is often a self-limiting disease, just like flu and cough, sore throat and fever. That means the symptoms need to be alleviated, yes, but the disease itself often doesn't need treatment. With diarrhea, the most important thing is preventing the patient from becoming dehydrated.
But that doesn't stop doctors handing out antibiotics like candy, despite effects that are much more dangerous than the original disease! Hadi, my former driver, is a case in point. He regularly pops a few antibiotics before staying up all night to watch a soccer match. This, he used to tell me, was "as prevention, so I don't get sick".
I was horrified. I tried to tell him as calmly as I could how ABs should be used, that they should be taken as a cure in fixed dosages over a prescribed number of days, and only when you are already ill enough to need them. "If you fail to do so, you build a resistance, Hadi", I said, "and then when you really need it, it won't work for you anymore!"
The truly worrying thing is that there are many more Hadis out there, and their cumulative drug-munching habits are building a community of antibiotic-resistant people who cannot be easily treated when they fall sick, because their bugs are super-resistant. That's why I called Hadi a krupuk (shrimp or sago cracker): just like crispy, crunchy krupuk that becomes limp when exposed to air and moisture, he wilts easily, falling sick frequently and taking a long time to bounce back. Are we becoming a nation of limp krupuks due to excessive and irresponsible drug-consumption?
Indonesia is now rife with IRUD: Irrational Use of Drugs. Unfortunately, the inappropriate, ineffective and economically inefficient use of pharmaceuticals is more common than not in the world, with between 52 and 62 percent of all antibiotics prescribed in developing countries being unnecessary. And Indonesia is one of the worst culprits: here the percentage is a staggering 87 percent, according to a YOP survey! Yes, 87 percent!
Hardly surprising, though. What, with increasing economic, social and even environmental pressure and the hand-to-mouth existence of the majority of Indonesians, it is little wonder that most resort to shortcuts and take refuge in the belief that "there's a pill for every ill" so they can get on with the daily business of survival.
Unfortunately, polypharmacy (prescribing several drugs at the same time for conditions that don't require it) and over-prescribing are also very widespread. One common problem is the practice of powdered drugs (drug compounding) for children with minor health problems like, yes, fever, flu, cough or diarrhea.
In most countries around the world, the administering of poly-pharmacological drugs has been reduced to only 1 percent of all drugs, but in Indonesia levels remain much higher. One example: there is a private hospital in the city of Tangerang (20 kilometers west of Jakarta) that still churns out 130 forms of compound drugs on a daily basis to feed the hungry hordes of Hadis.
Doctors cite three main reasons for over-prescription of antibiotics, lack of confidence being the first. Many doctors feel reluctant to tell a patient that he or she doesn't need antibiotics, for example when their illness is caused by a virus that antibiotics cannot treat, because most patients just won't believe them.
The second reason is the passiveness of patients, many of whom unquestioningly believe that the "doctor knows best". Indonesia is still a largely patriarchal society, and so the "doctor is god" belief remains deep-seated: There are not enough patients who are prepared to assess whether the medication prescribed for them is really what they need.
The third reason is "company pressure", from pharmaceutical companies and sales staff who ply the doctors with free samples which are then sometimes dispensed to patients. The doctors also get perks in the form of business trips, conferences and even cars from these drug companies! It's outright bribery!
It boils down to the market right? So, let's stop being fools about stools and start making sensible decisions about our own health, rather than allowing dopey doctors and money-mongering pharmaceutical companies to drug us until we are sicker -- and poorer -- than before we went to the doctor!
The writer is the author of Sex, Power and Nation. She can be contacted at jsuryakusuma@gmail.com
Rabu, 02 Juli 2008
BIAYA SEKOLAH
Mr. A ini setiap bulan selalu datang ke kantor untuk meminta bantuan biaya, yang istrinya sedang menjalani pengobatan, yang untuk biaya wiraswasta, niatnya pinjam, tapi sampai sekarang belum pernah dikembalikan.
Nah, akhir Juni ini, Ia meminta bantuan untuk biaya sekolah anaknya sekitar 2,5 juta ( mungkin gak banyak buat boss saya ), tapi boss saya berkeinginan bahwa perincian biaya yang diminta adalah resmi dari sekolah, Ia ingin bantuan diserahkan langsung ke sekolah seperti yang Ia lakukan untuk anak asuhnya yang lainnya ( intinya, bila diserahkan langsung ke sekolah maka penggunaan uang itu memang murni buat si Anak ).
Ternyata ybs gak mau, dia beralasan bahwa sekolah anaknya adalah bukan sekolah biasa, sekolah ini bagus karena ada pondok pesantrennya, dan guru disekolah tersebut marah karena Ia mintai nomor rekening sekolah dan perincian biaya resmi. Masa sich ???
Kalo saya sich setuju dengan Boss saya, karena kita punya pengalaman buruk waktu membantu salah satu anak asuh, uang tersebut diserahkan langsung ke orang tuanya untuk biaya sekolah selama 3 bulan, tapi ternyata sang Bapak tidak menyetorkan uang tersebut ke sekolahnya. semenjak itu bantuan langsung diserahkan ke pihak Sekolah.
Nah, yang menjadi keheranan saya adalah kalo anak kita mau masuk sekolah, ada dunk perincian resmi dari sekolah yang menyebutkan biaya - biaya yang harus dibayar seperti : Uang gedung, Seragam, Buku, SPP, kursus, dll, tapi Mr. A ini tidak bisa memberikan hal ini dengan alasan sekolah itu bagus dan tidak memiliki perincian resmi, mungkin gak sich ?
Waktu saya ngedaftarin Dika sekolah aza saya megang perincian resmi dari sekolah biaya-biaya yang harus saya bayar beserta dokumen yang harus diserahkan.
Yang nyebelin lagi, entah Mr. A entah Istrinya selalu mengirimkan SMS dengan nada yang tidak enak dan hurup kapital, seolah-olah menyalahkan bos saya karena anaknya tidak bisa sekolah.
------> bukankah sebagai orang tua kita yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak kita, mengapa tidak disiapkan dari jauh-jauh hari.
Intinya sich, Bos saya ingin membantu dengan ikhlas, tanpa ada prasangka buruk. Tapi, sikap kedua orang tersebut dan kejanggalan-2 yang terlihat bikin Boss saya setengah hati....
Btw, dulu waktu dia mau minjam dalam jumlah besar untuk biaya Pengobatan istrinya, Boss saya minta dikirimkan Dokumen Kesehatan ataupun Biaya-2 yang harus dibayar, ech tu orang malah gak balik-balik.
Selasa, 01 Juli 2008
KALO SAJA
Ingin rasanya mama melangkah kemudian memelukmu
Kalo saja waktu bisa berhenti
pasti mama sekejab telah berada disampingmu
dan memelukmu
Kalo saja pekerjaan mama telah selesai
Ingin rasanya mama segera pulang dan memelukmu
Kalo saja Jakarta tidak macet
Pasti dalam hitungan menit Mama telah berada disampingmu dan memelukmu
oh....kalo saja...